Pondok pesantren (ponpes) selama ini identik dengan pendidikan kelas dua. Awal keberadaannya, ponpes memang didirikan sebagai lembaga pendidikan non formal yang mengutamakan pemberian materi agama.
Saat ini, materi pembelajaran yang diberikan ponpes sudah setara dengan pendidikan formal. Bahkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional secara resmi mengakui pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan di Indonesia. Tidaklah mengherankan jika akhirnya Departemen Agama merasa perlu meningkatkan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pesantren.
Menurut komisioner Bidang Pendidikan dan Iptek Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Habib Chirzin, ada begitu banyak sumber pembelajaran di pesantren. Sekitar tahun 1970-an, konsep pendidikan di pesantren adalah intergasi antara pendidikan agama, pengetahuan umum, dan kecakapan hidup. Dalam perkembangannya, pesantren lalu mengembangkan layanan pada masyarakat dan dakwah.
Salah satu upaya pesantren adalah memberdayakan masyarakat sekitarnya pada berbagai bidang. "Mulai dari kesehatan, lingkungan, teknologi tepat guna, atau kerajinan rumah tanga," kaya Habib.
Karena perannya itulah, pesantrean bukan lembaga pembelajaran biasa. "Ponpes bukan hanya schooling tapi juga learning society (masyarakat pembelajar)," katanya.
Santri di pesantren sebenarnya memiliki sumber belajar yang lebih banyak daripada siswa di sekolah umum. "Sumber belajar itu tergantung pada lingkungan masyarakat di sekitarnya. Bisa belajar dari pabrik tahu, bengkel mobil, pabrik sepaty, atau pertanian. Karena terlibat langsung itulah maka ponpes mendapat kepercayaan masyarakat," urai Habib yang juga Anggota Badan Wakaf Ponpes Pabelan, Magelang, Jawa Tengah dan Ponpes Darun Najah, Jakarta.
Selain itu, pesantren juga dapat berfungsi sebagai tools center (pusat peralatan). Maksudnya, masyarakat dapat meminjam alat yang dimilki ponpes. Bahkan, ponpes juga dapat menadi pusat informasi pembangunan masyrakat.
Sebagai contoh, pada akhir tahun 1980, Ponpes Pabelan menjadi jejaring informasi pembangunan. Saat itu, ponpes ini terkenal sebagai koperasi kopiah di Magelang. Bahkan, ponpes juga mendapatkan penghargaan internasional di bidang arsitektur.
"Ini karena ponpes membekali santri dengan pengetahuan pertukangan, sehingga keahlian mereka sangat beragam. Ponpes telah melatih mereka belajar mandiri dan meningkatkan kecakapan untuk bekal hidup," jelasnya.
Untuk meningkatkan kualitas santri, Departemen Agama meminta perguruan tinggi umum memberi kesempatan yang sama pada lulusan ponpes untuk masuk di perguruan tinggi favorit. Beberapa kampus yang sudah menandatangani perjanjian kerja sama adalah IPB, ITS, UGM, ITB, UI untuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara di bidang ilmu sosial dan keagamaan telah ditandatangani naskah kerjasama dengan UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, IAIN Walisongo, dan IAIN Sunan Ampel.
Meski demikian, Habib mengingatkan perlunya santri membuka cakrawala berpkir. Selama ini, ada anggapan bahwa santri kurang kritis karena menerima mentah-mentah ajaran guru atau kiyai. Ini disebabkan adanya paham bahwa ilmu yang bermanfaat datangnya langsung dari Nabi Muhammad SAW. Ada kecenderungan santri lebih mendengar pendapat kiyai yang ada hubungan keturunan dengan Muhammad SAW.
Hanya saja, saat ini pandangan seperti itu semakin bergeser. Ini karena masyarakat ponpes menyadari bahwa ajaran nabi hanyalah salah satu sumber. Santri juga dapat berpedoman pada Al-Quran yang berisi tentang berbagai hal, mulai dari astronomi, sejarah, hingga hubungan antar bangsa.
"Isi Al-Quran banyak sekali. Sekarang santri ponpes lebih kritis dan ini baik bagi mereka kalau ingin masuk ke perguruan tinggi umum," ujarnya. (ika karlina idris)
pesantren adalah sumber belajar