Peran PESANTREN di era globalisasi


Memasuki era globalisasi dan reformasi saat ini, dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan siap berkompetisi agar tidak terpinggirkan oleh bergulirnya perubahan zaman. Dalam situasi yang masih fluktuatif dan ancaman disintegrasi sosial yang mengarah ke gerakan etnonasionalisme, kita diha¬dapkan pada problem bagaimana menyiapkan rancang bangun yang operasional untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mendorong tumbuhnya demokrasi dan terse¬dianya SDM yang dilandasi oleh iman-takwa (IMTAQ) dan ilmu pengetahuan - teknologi (IPTEK).

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai fungsi pokok pendidikan dan pengajaran mau tidak mau harus turut pula mengambil bagian dalam berkompetisi dengan “para tetangganya” mencari pangsa pasar, dengan berani untuk lebih terbuka dan siap adu kualitas.

Kompetisi yang dapat dilakukan oleh pesantren ialah dengan turut pula ambil bagian, memposisikan diri dan membuktikan sebagai lembaga yang juga mampu mengakomodasi tuntutan di era globalisasi, yaitu menciptakan manusia yang tidak hanya bertakwa tapi juga berilmu, memiliki SDM tinggi plus berahlakul karimah. Penciptaan output seperti itulah membuat pesantren mempunyai peran dan kesempatan yang lebih besar dalam mengawal bangsa Indonesia dalam menghadapi era globalisasi. Minimal ada tiga alasan mengapa pesantren mempunyai peran dan kesempatan yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga lembaga lain.

Pertama, pesantren dengan pendidikannya yang tidak terbatas, akan semakin mempermudah dalam menunjang pesantren untuk makin menyemaikan ajaran-ajaran Islam, yang dapat menjadi benteng dalam menghadapi globalisasi. Interaksi antara kyai dengan santri terus berlangsung selama 24 jam dan lingkungan pesantren yang sengaja di setting untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan pesantren.

Kedua, pendidikan pesantren yang mencoba memberikan keseimbangan antara pemenuhan lahir dan batin, pendidikan agama dan umum, merupakan usaha yang sangat sesuai dengan kebutuhan pendidikan di era globalisasi yang membutuhkan keseimbangan antara kualitas SDM dan keluhuran moral. Pendidikan pesantren yang berlandaskan ajaran agama Islam, menjadikan keluhuran moral dan akhlakul karimah sebagai salah satu fokus bidang garapan pendidikannya.

Perlunya suatu keseimbangan dan perpaduan yang sepadan antara penciptaan manusia yang bertaqwa dan berwawasan keilmuan tinggi adalah dalam rangka merombak image masyarakat bahwa pesantren hanya dikenal sebagai lembaga yang berorientasikan pada pembentukan manusia yang bermoral atau bertaqwa saja tetapi tidak mempunyai SDM tinggi.

Keengganan untuk menyesuaikan dengan perubahan sebenarnya dengan sendirinya telah memposisikan pesantren sebagai lingkungan yang terisolir dari pergaulan dan pada akhirnya akan ditinggalkan kebanyakan orang karena sudah tidak lagi sesuai atau tak dapat mengakomodasi keadaan zaman. Dengan demikian, pesantren sudah saatnya tidak menutup diri terhadap perubahan.

Akibat Globalisasi
Perubahan yang dimaksud di sini bukan berarti pesantren merombak total ataupun membuang jauh-jauh sistem yang selama ini telah menjadi ciri khasnya. Penerimaan pesantren terhadap berbagai perubahan juga disertai dengan mempertahankan dan tetap memberikan tempat terhadap nilai-nilai lama karena perubahan bukan berarti harus meghilangkan atau menggusur nilai-nilai lama pesantren yang justru pada akhirnya akan menghilangkan hakekat dari pada pesantren itu sendiri. Perubahan yang dimaksud adalah pesantren harus terbuka dengan segala berubahan, tidak ekskluif. Sebagaimana sebuah pendapat ulama terdahulu yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang pesantren, yaitu al muhafadzatu ala al qadim al shalih wa al akhdzu bi al jadidi al ashlah (mempertahankan nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Tetap dengan yang demikian itu, pesantren cendrung mulai kehilangan identitas kepesantrenannya. Contoh kecil saja budaya nadzam (syairan atau nyanyi-nyanyian) santri. Biasanya nadzam dibaca pada saat akan memulai pelajaran atau pengajian kitab. Baik itu sorogan, tontonan, halaqah, atau bondongan, dan itu adalah tradisi pesantren yang sejak duhulu ada.

Tradisi nazham merupakan budaya dan ciri has sebuah pesantren di Indonesia. Sehingga tidak disangkal lagi bahwa pesantren modern (khalaf) atau pesantren tradisional (salaf) sangat mengagung-agungkan nazham. Dan harus diakui bahwa kebudayaan pesantren tidak bisa diremehkan, karena kebudayaan pesantren merupakan kebudayaan asli Indonesia yang harus tetap dipertahankan dan dilestarikan bersama-sama.

Tapi, zaman tak bisa lagi kompromi. Pesantren seperti diketahui banyak orang merupakan markas santri, kini mulai redup dengan dunia nazham. Dampak industrialiasi, globalisasi, serta arus informasi dan komunikasi yang tak lagi terbendung berdampak hilangnya semangat kegemaran para santri membaca nazham dulunya sempat menjadi kebanggan dan sangat diagung-agungkan. Akibatnya, saat ini santri lebih suka melagukan musik-musik pop, dangdut(an), india, dan musik-musik barat sebagian itu tidak mempunyai nilai dan pesan moral sama sekali. Ironisnya, kalau santri masih bergemulut dengan nazham dianggap tidak gaul, ndeso, katrok, tertinggal, kuno, tidak modern dan lain sebagainya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by sa-ka-em-bhe themes | Bloggerized by Maz Ipunk - Premium Blogger Themes | Best CD Rates